Senin, 18 Desember 2017

RENUNGAN UMAT AKHIR ZAMAN

Renungan bagi para penuntut ilmu dan para pengajar ilmu (da’i, ustadz, ustadzah):

Bersabda Rasulullah saw. “Hampir tiba masanya kalian DIPEREBUTKAN seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya.” Maka seseorang bertanya: ”Apakah karena sedikitnya jumlah kita?” ”Bahkan kalian BANYAK, namun kalian seperti BUIH MENGAPUNG. Dan Allah telah MENCABUT RASA GENTAR DARI DADA MUSUH KALIAN terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit AL-WAHN.” Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahn itu?” Nabi Muhammad saw. bersabda: ”Cinta dunia dan takut akan kematian.” (H.R. Ahmad & Abu Dawud, shahih)

Buih lautan, jumlahnya BANYAK NAMUN BAGAIMANA DARI SEGI KUALITAS? Jika kita ingin melihat jumlah orang Islam, lihatlah shalat Jumat. Jika kita ingin melihat jumlah orang beriman, lihatlah shalat shubuh berjamaah.

Buih lautan, ia BANYAK NAMUN MUDAH TEECERAI BERAI entah karena dipisahkan atau karena sengaja memisahkan diri karena ego/kesombongan/kedengkian/fanatik atau memang tak peduli.

Buih lautan, ia memiliki IKATAN YANG LEMAH. Mudah dipecah belah padahal sebenarnya masuk dalam ranah khilafiyah. Tak tahu mana ushuliyah mana furu'iyah. Hingga bersikap keras dalam perbedaan yang sebenarnya furu'iyah namun justru tidak tegas dalam penyimpangan ushuliyah. Serta mudah diprovokasi dengan sekat-sekat hizbiyah.

Buih lautan, ia MENGIKUTI KEMANA ARAH OMBAK. Ia mudah terpengaruh mengikuti media-media mainstream, sementara media-media utama saat ini bukanlah media pro Islam. Ia yang terperangkap dalam ghawzul fikri yang digencarkan melalui media-media. Ia yang tak sadar telah dipengaruhi pemikiran liberalisme, sekulerisme, pluralisme. Ia lebih mendominasi akal, realita, dan permainan logika daripada syariat dan ijma' ulama.

Buih lautan, ia yang DIPEREBUTKAN yaitu mudah dipengaruhi kaum kuffar dan munafik terselubung untuk kepentingan mereka. Bahkan berkasih sayang dan loyal terhadap orang-orang kafir. Ia yang tak mampu membedakan batasan 1. toleransi, 2. muamalah, dan 3. makna berbuat adil kepada "sesama muslim" dan kepada non muslim.

Buih lautan, ia yang kehadirannya justru membuat musuh-musuh Allah menyombongkan diri, HILANGNYA RASA GENTAR & RASA SEGAN, sehingga Islam makin hina dan mudah dihinakan oleh mereka.

Buih lautan, ia yang tak fokus kemana tujuan berlabuh. Ia yang dihinggapi PENYAKIT WAHN, cinta dunia dan takut mati, hingga alergi dengan berbagai bentuk gerakan jihad dan ghirah perjuangan. Ia yang mudah diiming-imingi oleh harta, dana, maupun tahta.

Lantas renungan kita adalah, adakah salah satu saja sifat buih lautan dalam diri kita??

Q.S. Ali ‘Imran (3:103): “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.”

Q.S. Ash-Shaff (61:4): “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”

Mari rapatkan barisan, satukan ukhuwah, bersinergi berjamaah menggapai izzah!:)
Top of Form


Senin, 28 Agustus 2017

BAGAIMANA NILAI SATU KEBAIKAN SETARA DENGAN DUNIA SEISINYA ATAU BAHKAN LEBIH, DAN LEBIH, DAN LEBIH LAGI…

Berkenaan dengan masalah ini, kami akan memberikan satu contoh untuk menjelaskannya.

Bayangkan! Anda sekarang berada pada hari kiamat, sedangkan timbangan kebaikan-kebaikan sama dengan timbangan kejelekan-kejelekan. Sehingga, Anda pun mendapati bahwa Anda harus mencari satu kebaikan agar Anda bisa terhindar dari siksa neraka. Di sini tampak jelas nilai perbuatan terhadap kebaikan.

Sekarang, Anda bersiap-siap untuk mencurahkan apa yang Anda miliki dan yang tidak Anda miliki untuk mendapatkannya. Lalu, Anda berusaha pada hari yang panjangnya sama dengan 50.000 tahun dunia. Matahari akan didekatkan dengan kepala para hamba sejarak satu mil, cahayanya dipadamkan, dan panasnya dilipatgandakan. Sementara neraka Jahannam didatangkan dalam keadaan hitam dan gelap serta ada rintihan dan malapetaka [lihat Q.S. Maryam: 71]. Ia mempunyai 70.000 tali kendali. Masing-masing tali kendali ditarik oleh 70.000 malaikat. Ia berusaha melepaskan diri dari mereka untuk menerkam orang-orang yang lalai. Pada saat itu, Anda dalam kegelapan yang kelam dan ketakutan yang mencekam bersama bermilyar-milyar manusia yang telanjang.

“Dan tidak ada seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (Q.S. Maryam: 71)

Jangan berkata sebagaimana perkataan orang-orang bodoh, “Mati bersama adalah rahmat.” Allah membantah hal itu dalam firman-Nya:

“(Harapanmu itu) sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya (dirimu sendiri). Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu.” (Q.S. Az-Zukhruf: 39)

Di tengah-tengah gelombang lautan manusia yang luas dan jasad-jasad mereka menghimpit Anda, Anda pun tidak mampu lagi membedakan mana yang dekat dan mana yang jauh. Hal ini jika Anda bisa melihat dalam kegelapan yang mencekam dan kondisi yang sulit tersebut. Bayangkan! Bahwa Anda tengah mencari ayah yang penuh kasih sayang untuk meminta kepadanya kebaikan yang dengannya Anda bisa memperberat timbangan kebaikan Anda agar selamat dari neraka. Anda akan mencari dan terus mencarinya dan meminta. Sementara itu, setiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing.

Masing-masing ingin selamat, masing-masing sedang mencari seperti yang Anda cari. Bayangkan! Berapa lama waktu yang Anda habiskan agar Anda bisa menemukannya di antara para manusia dalam kegelapan itu? Sementara apabila Anda sudah menemukannya, alangkah besarnya kebahagiaan yang Anda rasakan. Anda seolah menemukan harta karun besar. Anda menyangka, kesulitan Anda telah terpecahkan. Anda menemukan ayah Anda yang penuh kasih sayang, yang pernah memberikan banyak harta kepada Anda. Ia sekarang tidak akan pelit terhadap Anda dengan satu kebaikan tersebut. Tapi, tak lama kemudian keputusasaan menjangkiti hati Anda lagi, setelah mendengar perkataan ayah Anda, “Diriku… diriku…”

Selanjutnya, terlintas di benak Anda ibu Anda yang penuh belas kasih yang telah banyak menumpahkan belas kasihnya kepada Anda dan seringkali mencegah dirinya demi memberikan apa saja kepada Anda di dunia. Anda mencarinya selama ratusan bahkan ribuan tahun dalam keadaan panas dan keringat yang mengalir deras dari diri Anda.

Anda pun berenang di dalam keringat Anda, hingga Anda menemukannya dan meminta belas kasihnya. Semoga ia bermurah hati kepada dengan satu kebaikan. Satu kebaikan yang dulu tidak Anda butuhkan di dunia, ketika ia memberikannya namun Anda membiarkannya hilang diterpa angin. Tetapi, lagi-lagi Anda mendapatkan jawaban yang sama dengan yang Anda dengar dari ayah Anda, “Diriku… diriku… hari ini aku tidak akan mendahulukanmu atas diriku.”

Lalu, Anda teringat pada istri Anda tercinta atau anak-anak Anda yang telah Anda manjakan yang Anda beri pakaian, makanan, perhiasan, dan segala kebutuhannya. Berapa lama pula waktu yang Anda habiskan untuk mencarinya? Berapa tahun yang lamanya sebanding dengan umur Anda yang berlipat ganda di dunia, habis Anda gunakan untuk mencari istri Anda tersebut. Namun, ketika Anda sudah menemukannya, Anda hanya bisa mendengarkan jawaban yang sama.

Kemudian, Anda pergi kepada setiap orang yang terlintas di dalam pikiran Anda yang bisa Anda mintai pertolongan, kepada putra Anda, buah hati Anda, kepad putri Anda, kepada saudara Anda, kepada saudari Anda, kepada paman Anda, kepada bibi Anda, atau kepada keluarga Anda. Akan tetapi, tiap kali itu juga Anda mendengar jawaban keputusasaan, “Diriku… diriku.”

Saudara, masa yang melebihi usia Anda di dunia telah berlalu, bahkan kelipatannya, yakni 50.000 tahun untuk mencari kebaikan yang mampu Anda peroleh dalam JUMLAH BANYAK di dunia selama KURANG DARI SATU MENIT. Sesungguhnya, kalkulasi pencarian Anda terhadap ayah, ibu, atau salah seorang kerabat Anda ketika di tengah-tengah milyaran manusia yang sangat kecil kemungkinannya untuk membuahkan hasil, menghabiskan beberapa ribu tahun dibandingkan dengan masa 50.000 tahun. Hal itu dalam ilmu statistik probabilitas bagaikan orang yang mencari satu kelereng dengan titik hitam di antara bermilyar-milyar kelereng yang serupa TANPA melihat kepadanya. Tentu hal itu akan mengabiskan waktu yang tidak bisa dihitung lamanya.

Tidakkah Anda melihat ‘betapa mahalnya’ pasar kebaikan ketika itu (mengenai ini dapat direnungkan kembali dari tulisan sebelumnya dengan judul: KENGERIAN TERAMAT SANGAT HARI KIAMAT!). Kebaikan yang nilainya tak Anda perhatikan di dunia, nilainya tak sebanding dengan satu puntung rokok yang dihisap pemiliknya selama beberapa menit, lalu diinjak-injak dengan kaki! Berapa lama waktu yang dihabiskan untuk menghisapnya? Waktu untuk menghisap dan menghembuskan asapnya, bisa Anda gunakan untuk memperoleh berjuta-juta kebaikan. Ya, DEMI ALLAH, BERJUTA-JUTA KEBAIKAN.

Bukankah Anda akan memberikan semua barang berharga yang Anda punya untuk mendapatkan 1 kebaikan itu? Ya, bagaimana tidak? Setelah mendapat rahmat Allah, dengannya Anda bisa masuk surga dan bebas dari neraka. Allah berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu (pula) untuk menebus diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang pedih. (Q.S. Al Maidah: 36)

Firman ini akan diterapkan pada siapa saja jika Rabb Tuhan Semesta Alam tidak merahmatinya. Dia tidak akan menerima Anda meskipun Anda memiliki apa yang ada di atas bumi dan yang semisal dengan itu. Sebab saat itu pasar harta dan materi tak berarti dan tak berharga lagi serta barang dagangan Anda hari itu tak laku.

Sedang mereka saling memandang. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab hari itu dengan anak-anaknya. dan istrinya, dan saudaranya, dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia), dan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya.” (Q.S. Al-Ma’arij: 11-14)

Jika demikian, kebaikan tersebut setara dengan nilai semua manusia dan benda yang ada di dunia. Andaikata itu semua milik Anda, PASTI Anda akan memberikan semua itu sebagai tebusan untuk mendapatkan nilai satu kebaikan tersebut.

Barangkali Anda hampir tak percaya, bahwa nilai satu kebaikan yang tidak berarti di depan kedua mata Anda, suatu hari nanti akan datang dengan harganya yang MENJULANG TINGGI di bursa harga pada Hari Kiamat hingga setara dengan dunia seisinya, bahkan lebih, dan lebih, dan lebih lagi…

Astaghfirullahal ‘azhiim…



(ditulis dari poin poin penting dalam Buku Rumus Masuk Surga – Cara Cerdas Memilih Amal Untuk Hasil Optimal hlm. 113-118, dengan penambahan, sebagai renungan mendalam bagi kita semua, Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin)


Tulisan terkait:

Kamis, 30 Maret 2017

PENJELASAN KOMPREHENSIF DAN TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG AULIYAA’ (LARANGAN MENJADIKAN ORANG KAFIR SEBAGAI AULIYAA')

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Jauh sebelum adanya kasus penistaan agama, jauh sebelum populernya ayat Al-Maidah 51, beberapa tahun silam kami telah menyampaikan dan menulis tentang masalah ini meskipun saat itu masih jarang dibahas di masjid-masjid. Alhamdulillah kami bersyukur sekarang Al-Maidah 51 telah familiar dan banyak dikenal bahkan MUI pun telah mengeluarkan fatwa tentang ini :). Namun, ternyata masih ada Saudara-saudara kita yang gagal paham bahkan melawan fatwa MUI. Bahkan belum lama, ada yang disebut sebagai Kyai Haji namun bersaksi di pengadilan ‘menentang’ dan berseberangan dengan kesaksian MUI. Maka kami mengharap ridha Allah untuk mengaplikasikan ayat populer Q.S. Ash-Shaff 14. Aamiin.

Mengingat umat muslim masih terpecah, semoga tulisan ini bisa menyatukan umat muslim. Aamiin.

“Dan BERPEGANGLAH kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan JANGANLAH KAMU BERCERAI BERAI….” (Q.S. Ali ‘Imraan: 103)

Tahukah bahwa ternyata ada 42 KATA “AULIYAA” dalam Al-Quran? Sementara ada sebagian muslim bahkan tidak sedikit yang mengaku ustadz sekalipun, termasuk tokoh-tokoh yang dikenal memiliki pemikiran menyimpang, namun memahaminya secara parsial, hanya membaca 1 atau beberapa ayat tentang auliyaa’, mengambil 1 atau beberapa tafsir secara parsial, mengabaikan prinsip-prinsip lain dalam Islam, kemudian dengan nafsu dan akal/logika rasionalnya menyempitkan makna kata auliyaa’, menyimpulkan secara keliru, dan bahkan bertentangan dengan fatwa MUI dan mayoritas ulama. Padahal para ulama-ulama MUI dan jumhur ulama jauh lebih kompeten dan telah mengkaji secara mendalam tentang hal ini dalam waktu yang panjang.

Oleh karena itu, kita harus melihatnya secara keseluruhan untuk bisa memahaminya. Jangan sampai kita hanya terjebak dalam pembahasan ayat Al-Maidah 51, sementara mengabaikan banyak ayat yang lain, mengabaikan hadits yang relevan, mengabaikan prinsip aqidah Al-Wala’ wal Bara’, mengabaikan krakteristik (tabiat) agama Islam, mengaburkan batasan toleransi dan muamalah, dan sebagainya.

Untuk memahami makna auliyaa’, kita harus melihat secara keseluruhan karena ada sebanyak 42 KATA AULIYAA’ dalam Al-Quran yang tersebar dalam 40 ayat berikut:

1             Al-Baqarah[2]:257
2             'Ali `Imran[3]:28
3             'Ali `Imran[3]:175
4             An-Nisa'[4]:76
5             An-Nisa'[4]:89
6             An-Nisa'[4]:139
7             An-Nisa'[4]:144
8             Al-Ma'idah[5]:51 (terdapat 2 kata auliyaa’)
9             Al-Ma'idah[5]:57
10           Al-Ma'idah[5]:81
11           Al-'An`am[6]:121
12           Al-'An`am[6]:128
13           Al-'A`raf[7]:3
14           Al-'A`raf[7]:27
15           Al-'A`raf[7]:30
16           Al-'Anfal[8]:34 (terdapat 2 kata auliyaa’)
17           Al-'Anfal[8]:72
18           Al-'Anfal[8]:73
19           At-Taubah[9]:23
20           At-Taubah[9]:71
21           Yunus[10]:62
22           Hud[11]:20
23           Hud[11]:113
24           Ar-Ra`d[13]:16
25           Al-'Isra'[17]:97
26           Al-Kahf[18]:50
27           Al-Kahf[18]:102
28           Al-Furqan[25]:18
29           Al-`Ankabut[29]:41
30           Al-'Ahzab[33]:6
31           Az-Zumar[39]:3
32           Fussilat[41]:31
33           Ash-Shuraa[42]:6
34           Ash-Shuraa[42]:9
35           Ash-Shuraa[42]:46
36           Al-Jathiyah[45]:10
37           Al-Jathiyah[45]:19
38           Al-'Ahqaf[46]:32
39           Al-Mumtahanah[60]:1
40           Al-Jumu`ah[62]:6

Berikut adalah makna auliyaa’ dalam Al-Quran setelah melihat ayat dan penjelasan tafsirnya:

1       Al-Baqarah[2]:257 = pelindung, pembela, pemberi petunjuk.
Allah pelindung (waliy) orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya (auliyaa’) adalah setan, …”
2       'Ali `Imran[3]:28 = pemimpin, orang yang memiliki kekuasaan atau pengaruh sehingga dapat menimbulkan ancaman dan ketakutan, wali, pelindung, penolong.
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin (auliyaa’), melainkan orang-orang beriman ….””
3       'Ali `Imran[3]:175 = teman-teman setia, teman-teman yang saling terikat dan cenderung kepadanya.
Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya (auliyaa’), …”
4       An-Nisa'[4]:76 = kawan-kawan yang menyokong/mendukungnya.
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan Ṭhaghut, maka perangilah kawan-kawan (auliyaa’) setan itu, …”
5       An-Nisa'[4]:89 = pelindung, penolong , teman-teman setia, pembela (menunjukkan rasa cinta).
Mereka (orang munafik) ingin agar kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, sehingga kamu menjadi sama (dengan mereka). Janganlah kamu jadikan dari antara mereka sebagai teman-teman(mu) (auliyaa’), sebelum mereka berpindah pada jalan Allah.”
6       An-Nisa'[4]:139 = pemimpin, teman-teman setia yang memiliki kekuatan/kekuasaan, orang yang kita berikan loyalitas.
(yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin (auliyaa’) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Ketahuilah bahwa semua kekuatan itu milik Allah.”
7       An-Nisa'[4]:144 = pemimpin, pelindung, penolong, wali.
Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin (auliyaa’) selain dari orang-orang mukmin.”
8       Al-Ma'idah[5]:51 = 2 kata auliyaa’ bermakna orang yang diikuti, dicintai, pemimpin, pelindung, teman yang kita memberikan kesetiaan.
Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin/pelindung/teman setia(mu) (auliyaa’); mereka satu sama lain saling melindungi.”
9       Al-Ma'idah[5]:57 = pemimpin, wali, tempat berlindung, yang kita setia kepada mereka.
Janganlah kamu menjadikan pemimpinmu (auliyaa’) orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang kafir (orang musyrik).”
10     Al-Ma'idah[5]:81 = penolong-penolong, teman setia.
Dan sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Muhammad) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan menjadikan orang musyrik itu sebagai teman setia (auliyaa’).”
11     Al-'An`am[6]:121 = kawan-kawan.
Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya (auliyaa’) (dari golongan manusia) agar mereka membantah kamu.”
Dalam Q.S. An-Naas 4-6: “dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, yaitu (setan) dari (golongan) jin dan manusia.”
12     Al-'An`am[6]:128 = kawan-kawan/pihak yang ditaati.
Wahai golongan jin! Kamu telah banyak (menyesatkan) manusia." Dan kawan-kawan (auliyaa’) mereka dari golongan manusia (yaitu mereka yang mau menaatinya) berkata, …”
13     Al-'A`raf[7]:3 = pemimpin-pemimpin yang kamu taati.
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin (auliyaa’).”
14     Al-'A`raf[7]:27 = pemimpin/yang diikuti/yang didukung.
Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin (auliyaa’) bagi orang-orang yang tidak beriman.”
15     Al-'A`raf[7]:30 = pelindung.
Mereka menjadikan setan-setan sebagai pelindung (auliyaa’) selain Allah.”
16     Al-'Anfal[8]:34 = 2 kata auliyaa’ bermakna orang-orang yang berhak menguasainya
“… dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya (auliyaa’)? Orang yang berhak menguasai(nya) (auliyaa’), hanyalah orang-orang yang bertakwa, …”
17     Al-'Anfal[8]:72 = pelindung (saling melindungi dan tolong menolong).
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah … mereka itu saling melindungi (auliyaa’) satu sama lain.”
18     Al-'Anfal[8]:73 = pelindung (saling melindungi dan tolong menolong).
Dan orang-orang yang kafir, sebagian mereka melindungi (auliyaa’) sebagian yang lain.”
19     At-Taubah[9]:23 = wali, penguasa, pelindung, orang yang dicintai dan dibela.
Janganlah kamu jadikan bapak-bapakmu dan saudara-saudaramu sebagai pelindung (auliyaa’), jika mereka lebih menyukai kekafiran daripada keimanan.”
20     At-Taubah[9]:71 = penolong.
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong (auliyaa’) bagi sebagian yang lain.”
21     Yunus[10]:62 = wali, orang yang dekat.
Ingatlah wali-wali (auliyaa’) Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.”
22     Hud[11]:20 = penolong.
Mereka tidak mampu menghalangi (siksaan Allah) di bumi, dan tidak akan ada bagi mereka penolong (auliyaa’) selain Allah.”
23     Hud[11]:113 = penolong yang dapat menghindarkan dari ancaman
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tidak mempunyai seorang penolong (auliyaa’) pun selain Allah,”
24     Ar-Ra`d[13]:16 = pelindung-pelindung berupa berhala-berhala atau sesembahan lain.
Pantaskah kamu mengambil pelindung-pelindung (auliyaa’) selain Allah, …”
25     Al-'Isra'[17]:97 = penolong-penolong yang dapat memberikan petunjuk/pertolongan.
dan barang siapa Dia sesatkan, maka engkau tidak akan mendapatkan penolong-penolong (auliyaa’) bagi mereka selain Dia.”
26     Al-Kahf[18]:50 = pemimpin yang kemudian kalian taati mereka.
Pantaskah kamu menjadikan dia (Iblis) dan keturunannya sebagai pemimpin (auliyaa’) selain Aku, …”
27     Al-Kahf[18]:102 = penolong-penolong.
Maka apakah orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong (auliyaa’) selain Aku?”
28     Al-Furqan[25]:18 = pelindung.
Mereka (yang disembah itu) menjawab, “Mahasuci Engkau, tidaklah pantas bagi kami mengambil pelindung (auliyaa’) selain Engkau, …”
29     Al-`Ankabut[29]:41 = pelindung-pelindung/sembahan selain Allah yang mereka harapkan dapat memberi manfaat kepada diri mereka.
Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung (auliyaa’) selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah.”
30     Al-'Ahzab[33]:6 = saudara-saudaramu (seagama) yang tidak mempunyai hubungan darah.
“ … kecuali kalau kamu hendak berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama) (auliyaa’).”
*ayat tentang waris dan wasiat.
31     Az-Zumar[39]:3 = pelindung /sembahan/berhala.
Dan orang-orang yang mengambil pelindung (auliyaa’) selain Dia (berkata), …”
32     Fussilat[41]:31 = pelindung-pelindung yang akan mengayomi dan dapat memberikan apa yang kalian inginkan/minta.
Kamilah pelindung-pelindungmu (auliyaa’) dalam kehidupan dunia dan akhirat.”
33     Ash-Shuraa[42]:6 = pelindung /sembahan/berhala.
Dan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung (auliyaa’) selain Allah, …”
34     Ash-Shuraa[42]:9 = pelindung/penolong/sembahan/berhala.
Atau mereka mengambil pelindung-pelindung (auliyaa’) selain Dia? Padahal Allah, Dialah pelindung (waliy) (yang sebenarnya).”
35     Ash-Shuraa[42]:46 = pelindung yang dapat memberikan pertolongan.
“Dan mereka tidak akan mempunyai pelindung (auliyaa’) yang dapat menolong mereka selain Allah.”
36     Al-Jathiyah[45]:10 = pelindung /sembahan/berhala.
dan tidak pula (bermanfaat) apa yang mereka jadikan sebagai pelindung-pelindung (mereka) (auliyaa’) selain Allah.”
37     Al-Jathiyah[45]:19 = penolong/pelindung.
“Dan sungguh, orang-orang yang zalim itu sebagian menjadi pelindung (auliyaa’) atas sebagian yang lain, sedangkan Allah pelindung (waliy) bagi orang-orang yang bertakwa.”
38     Al-'Ahqaf[46]:32 = pelindung yang dapat memberikan pertolongan.
“padahal tidak ada pelindung (auliyaa’) baginya selain Allah.”
39     Al-Mumtahanah[60]:1 = teman-teman setia, saudara/famili, orang yang disayangi yang kemudian diiringi dengan sikap menolong dan membela.
Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu (yakni orang kafir) sebagai teman-teman setia (auliyaa’) sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, …”
40     Al-Jumu`ah[62]:6 = kekasih/yang dekat.
“… mengira bahwa kamulah kekasih (auliyaa’) Allah, …”

Secara ringkas tingkatan hubungan “auliyaa’” dalam Al-Quran adalah sebagai berikut:
Allah adalah waliy bagi orang beriman.
Auliyaa’-nya Allah adalah wali/kekasih Allah.
Auliyaa’-nya orang kafir adalah thaghut.
Auliyaa’-nya syetan maupun jin ingkar adalah pengikutnya dari golongan jin dan manusia.
Auliyaa’-nya orang-orang yang ingkar (tidak percaya) adalah syetan.
Auliyaa’-nya orang kafir adalah sembahan selain Allah.
Auliyaa’-nya orang beriman adalah orang beriman.
Auliyaa’-nya orang kafir adalah orang kafir.
Auliyaa’-nya orang zalim adalah orang zalim.
Larangan orang beriman menjadikan auliyaa’-nya orang kafir.
Larangan manusia menjadikan auliyaa’-nya selain Allah.

Dari 42 kata auliyaa’ yang tersebar dalam 40 ayat di atas beserta tafsirnya, dapat kita simpulkan sebagai berikut:

Cakupan makna auliyaa’ meliputi: wali, pelindung, tempat berlindung, penolong, pembela, pemberi petunjuk, pihak yang ditaati, yang didukung, pemimpin, orang yang memiliki kekuatan/kekuasaan atau pengaruh sehingga dapat menimbulkan ancaman dan ketakutan, yang dapat memberi pertolongan, yang dapat memberi ancaman, orang yang menguasai, orang yang kita berikan loyalitas, orang yang diikuti, orang yang dicintai, orang yang dibela, orang yang dekat, kekasih, teman-teman setia, teman-teman yang kita setia pada mereka, teman-teman yang saling terikat dan cenderung kepadanya, kawan-kawan yang menyokong/mendukungnya, menunjukkan rasa kasih sayang/cinta, saling melindungi/menolong, pelindung  yang mereka harapkan dapat memberi manfaat kepada diri mereka, pelindung yang akan mengayomi dan dapat memberikan apa yang kalian inginkan/minta, pelindung-pelindung berupa berhala-berhala atau sesembahan lain, saudara/famili, orang yang disayangi yang kemudian diiringi dengan sikap menolong dan membela.

Secara ringkas, auliyaa’ adalah:
1.      hubungan berupa ikatan atau kecenderungan
2.      kepada seseorang yang kita ikuti/taati/berikan loyalitas/kesetiaan
3.      yang dengannya dapat memberi pengaruh, baik berupa manfaat/pertolongan maupun ancaman
4.      sehingga menimbulkan rasa kasih sayang (cinta) dan/atau
5.      menimbulkan sikap untuk melindungi/menolong/mendukung/membela

Maka larangan menjadikan orang kafir sebagai auliyaa’ adalah mencakup seluruh pengertian di atas, yaitu larangan menjadikannya sebagai wali, penolong, pelindung, pemimpin, teman setia, orang yang diikuti/didukung, ataupun orang yang disayang/dicintai dengan meninggalkan orang mu’min.

Catatan Penting:

9:7. ... MAKA SELAMA MEREKA BERLAKU LURUS TERHADAPMU, HENDAKLAH KAMU BERLAKU LURUS (PULA) TERHADAP MEREKA.  Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.

60:8. Allah tiada melarang kamu untuk BERBUAT BAIK DAN BERLAKU ADIL TERHADAP ORANG-ORANG YANG TIADA  MEMERANGIMU KARENA AGAMA DAN TIDAK (PULA) MENGUSIR KAMU DARI NEGERIMU. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

42:15. Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan AKU DIPERINTAHKAN SUPAYA BERLAKU ADIL DI ANTARA KAMU. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. BAGI KAMI AMAL-AMAL KAMI DAN BAGI KAMU AMAL-AMAL KAMU. TIDAK ADA PERTENGKARAN ANTARA KAMI DAN KAMU, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya lah kembali (kita)"

“Barang siapa mengganggu seorang dzimmi [kafir yang tidakmemerangi dan hidup berdamai dengan Islam], SUNGGUH IA TELAH MENGGANGGUKU dan barang siapa menggangguku SUNGGUH IA TELAH MENGGANGGU ALLAH. [HR Thabrani dengan Isnad Hasan]

Orang-orang yang dimaksud dalam ayat di atas adalah orang-orang kafir (baik kafir dzimmi maupun kafir ‘ahdi) yang tidak menyakiti kaum muslimin, tidak memerangi, tidak mengusir, terikat perjanjian, yang berlaku lurus dan baik kepada kaum muslimin, yang hidup berdamai dengan kaum muslimin. Kita diperintahkan untuk berbuat baik dan adil dalam bermuamalah. Tetapi, kita tidak boleh mencintai mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Berbuat baik dan berlaku adil,” bukan dengan kalimat loyal dan cintailah mereka.

Semoga bermanfaat :)
---------------

Catatan:

Dalam tulisan ini, pembahasan masih terbatas pada tafsir ayat, dan terbatas pada ayat-ayat tentang auliyaa’. Adapun untuk lebih memahami secara mendalam, masih ada topik-topik lain yang sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan, seperti:

1.        Pembahasan prinsip aqidah Al-Wala’ wal Bara’ yang merupakan kaidah yang sangat urgent (penting) dalam keseluruhan muatan syariat Islam, dan menjadi bagian dari makna syahadat serta merupakan bagian dari ikatan iman yang paling kuat. Apabila seorang muslim memahami kaidah prinsip ini, maka seandainya tidak ada ayat Al-Maidah 51 pun ia sudah pasti tidak akan salah dalam berpihak maupun mengambil tindakan.
2.        Pembahasan 12 krakteristik (tabiat) agama Islam, salah satunya adalah “agama daulah dan ibadah”, yang menghendaki ahli ibadah dalam ahli politik dan keduanya tidak dapat dipisahkan. Ahli ibadah tetapi tidak ahli politik akan mudah dikotak-kotakkan. Ahli politik tetapi tidak ahli ibadah akan mudah terseret arus dan fitnah. Dan ahli ibadah tentulah beriman.
3.        Pembahasan mengenai batasan serta makna toleransi dan muamalah dengan non muslim, termasuk dengan “sesama muslim”.
4.        Pembahasan mengenai berlaku adil dan berbuat baik kepada non muslim.
5.        Pembahasan mengenai Ulil Amri atau disebut juga Waliyul Amri.
6.        Pembahasan mengenai fitnah akhir zaman.

-------------------------------------------- 

Referensi: Al-Quran AlHadi, Tafsir Jalalain, Polisemi Kata 'Wali' dalam Al-Quran (2011), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur'an “Hidayatul Insan bi tafsiril Qur’an (Rangkuman dari Berbagai Kitab-Kitab Tafsir), http://alquranalhadi.com

Selengkapnya: Tafsir dan Asbabun Nuzul Ayat-Ayat tentang Auliyaa' :

1. RANGKUMAN TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG AULIYAA' (LARANGAN MENJADIKAN ORANG KAFIR SEBAGAI AULIYAA')
2. TAFSIR IBNU KATSIR & ASBABUN NUZUL AYAT-AYAT TENTANG AULIYAA' (LARANGAN MENJADIKAN ORANG KAFIR SEBAGAI AULIYAA')

Tambahan:

Dalam konsep semantik, ada lebih dari satu kata untuk mewakili satu gagasan atau makna. Ada pula sebuah kata yang mempunyai makna lebih dari satu dan ini sering disebut dengan polisemi.

Berdasarkan kamus Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), kata auliy bermakna (1) yang mencintai (2) teman, sahabat (3) yang menolong (4) orang yang mengurus perkara seseorang atau wali.

Sedangkan dalam kamus Al-‘Arsy (Kamus Arab-Indonesia), kata auliy bermakna (1) wakil, pejabat pelaksana, karetaker (2) penolong (3) sahabat, teman (4) wali, orang yang bertaqwa (5) tuan, kepala (6) yang mencintai (7) orang yang mengurus perkara seseorang (8) tetangga (9) sekutu (10) pengikut (11) pemilik (12) penanggung jawab, kepala, pimpinan (13) putra mahkota (14) wali yang diwasiatkan (15) pengasuh anak yatim (16) dermawan.

TAFSIR IBNU KATSIR & ASBABUN NUZUL AYAT-AYAT TENTANG AULIYAA' (LARANGAN MENJADIKAN ORANG KAFIR SEBAGAI AULIYAA')

LARANGAN MENJADIKAN ORANG KAFIR SEBAGAI AULIYAA' (BAIK ITU SEBAGAI WALI, PELINDUNG, PENOLONG, PEMIMPIN, YANG DIIKUTI, TEMAN SETIA, YANG DICINTAI)

Sumber: Tafsir Ibnu Katsir, Asbabun Nuzul

  1. Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 28
  2. Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 88-91
  3. Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 51-53
  4. Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 57-58
  5. Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 78-81
  6. Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah / Al-Bara’ah ayat 23-24
  7. Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Mumtahanah (1)
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena [siasat] memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkanmu terhadap diri [siksa]-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali[mu.” (QS. 3:28)
Allah swt. melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengangkat orang-orang kafir sebagai wali dan pemimpin dengan kecintaan kepada mereka dan mengabaikan orang-orang yang beriman. Selanjutnya Allah mengancam perbuatan itu seraya berfirman: wa may yaf’al dzaalika falaisa minallaaHi min syai-in (“Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah dari pertolongan Allah.”) Artinya, barangsiapa melanggar larangan Allah tersebut, maka ia benar-benar terlepas dari Allah, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian lainnya. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maa-idah: 51)
Sebagaimana Allah berfirman setelah menyebutkan loyalitas (kesetiaan antara) orang-orang mukmin dari kalangan Muhajirin, Anshar dan orang-orang Arab Badui, “Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (wahai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 73)
Dan firman-Nya, illaa an tattaquu minHum tuqaatan (“Kecuali karena [siasat] memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.”) Maksudnya, kecuali bagi orang yang berada di suatu negeri dan pada waktu tertentu, merasa takut terhadap kejahatan orang-orang kafir, maka baginya diperbolehkan bersiasat kepada mereka secara lahirnya raja, bukan secara bathin dan niatnya. Sebagaimana Imam al-Bukhari meriwayatkan dart Abud Darda’, ia berkata: “Sesungguhnya kami menampakkan wajah cerah kepada beberapa orang kafir, sedang hati kami melaknat mereka.”
Sedangkan ats-Tsauri mengatakan, Ibnu ‘Abbas berkata: “Taqiyyah (bersiasat dalam usaha melindungi diri) itu bukan dengan amal, melainkan dengan lisan.” Demikian pula diriwayatkan oleh al-‘Aufi dart Ibnu ‘Abbas bahwa taqiyyah itu dengan lisan.
Hal yang lama juga dikatakan Abul `Aliyah, Abu Sya’tsa’, adh-Dhahhak, dan ar-Rabi’ bin Anas. Pendapat mereka itu diperkuat oleh firman Allah, “Barangsiapa kafir kepada Allah sesudah ia beriman (mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir pedahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa).” (QS. An-Nisaa’: 106)
Imam al-Bukhari mengatakan, al-Hasan berkata: “Taqiyyah itu berlaku sampai hari Kiamat kelak.”
Setelah itu Dia berfirman, wa yuhadzdzirukumullaaHu nafsaHu (“Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.”) Dengan kata lain, Allah memperingatkan kalian akan siksa-Nya di dalam penentangan terhadap-Nya dan adzab-Nya bagi orang-orang yang menjadikan musuh-Nya sebagai wali, dan memusuhi para wali-Nya. Selanjutnya Dia berfirman, wa ilallaaHil mashiir (“Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” yaitu kepada-Nya tempat kembali untuk diberikan balasan bagi setiap orang atas amal yang diperbuatnya.

28. “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali[192] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya kepada Allah kembali (mu).”
(Ali ‘Imraan: 28)
[192] Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Sa’id atau ‘Ikrimah, yang bresumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa Al-Hajjaj bin ‘Amr yang mewakili Ka’b bin al-Asyraf, Ibnu Abil Haqiq, serta Qais bin Zaid (tokoh-tokoh Yahudi) telah memikat segolongan kaum Anshar untuk memalingkan mereka dari agamanya. Rifa’ah bin al-Mundzir, ‘Abdullah bin Jubair serta Sa’d bin Hatsamah memperingatkan orang-orang Anshar tersebut dengan berkata: “Hati-hatilah kalian dari pikatan mereka, dan janganlah terpaling dari agama kalian.” Mereka menolak peringatan tersebut. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (Ali ‘Imraan: 28) sebagai peringatan agar tidak mmenjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung kaum Mukminin.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka pada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang telah disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. (QS. 4:88) Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir, sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawanlah dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka menjadi pelindung dan jangan (pula) menjadi penolong, (QS. 4:89) kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kamudan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepadamu, sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangimu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Allah memberi ke-kuasaan kepada mereka terhadapmu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkanmu, dan tidak memerangimu, serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka. (QS. 4:90) Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman dari padamu dan aman (pula) dari kaumnya. Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), mereka pun terjun ke dalamnya. Karena itu, jika mereka tidak membiarkanmu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemui mereka dan merekalah orang-orang yang kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan membunuh) mereka. (QS. 4:91)” (an-Nisaa’: 88-91)
Allah berfirman, mengingkari kaum mukminin dalam perselisihan mereka tentang orang-orang munafik yang terbagi menjadi dua pendapat. Dan diperselisihkan tentang sebabnya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit, bahwa Rasulullah keluar menuju perang Uhud, lalu orang-orang kembali, yang tadinya sudah keluar bersamanya. Tentang mereka itu, Sahabat Rasulullah terbagi dua kelompok. Kelompok pertama mengatakan: “Kita bunuh mereka,” sedangkan kelompok yang lain mengatakan: “Tidak perlu, mereka adalah kaum mukminin.”
Lalu Allah turunkan: famaa lakum fil munaafiqiina fiataini (“Maka mengapa kamu [terpecah] menjadi dua golongan dalam [menghadapi] orang-orang munafik.”)
Rasulullah bersabda:”Sesungguhnya ia (Madinah) itu adalah kebaikan. la akan membersihkan keburukan sebagaimana alat peniup api pandai besi membersihkan kotoran besi.” (Dikeluarkan oleh ash-Shahihain).
Dan firman Allah: wallaaHu arkasaHum bimaa kasabuu (“Padalah Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran disebabkan usaha mereka sendiri”.) Yaitu, mengembalikan mereka dan menjatuhkan mereka dalam kesalahan.
Ibnu `Abbas berkata: arkasaHum; yaitu menjerumuskan mereka. Qatadah berkata: “Mem-binasakan mereka,” sedangkan as-Suddi berkata: “Menyesatkan mereka.”
Dan firman-Nya: bimaa kasabuu; yaitu dengan sebab kemaksiatan dan penentangan mereka kepada Rasul serta ikutnya mereka kepada kebathilan.
Aturiiduuna an taHduu man adlallallaaHu wa may yudl-lilillaaHu falan tajida laHuu sabiilan (“Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan [untuk memberi petunjuk] kepadanya.”) Yaitu, tidak ada jalan baginya menuju hidayah serta tidak ada jalan keluar (dari kesesatan) kepadanya (hidayah).
Firman-Nya: wadduu lau takfuruuna kamaa kafaruu fatakuunuuna sawaa-an (“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir, sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama [dengan mereka]”.) Yaitu mereka menginginkan kesesatan bagi kalian, agar kalian sama dengan mereka dalam kesesatan. Untuk itu Allah berfirman: fa laa tattakhidzuu minHum auliyaa-a hattaa yuHaajiruu fii sabiilillaaHi fa in tawallau (“Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong [mu], hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling.”) Yaitu mereka meninggalkan hijrah sebagaimana yang dikatakan oleh al-‘Aufi dari Ibnu `Abbas.
Sedangkan as-Suddi mengatakan bahwa, mereka menampakkan kekafiran mereka; fakhudzuuHum faqtuluuHum haitsu wajadtumuuHum walaa tattakhidzuu minHum waliyyaw walaa nashiiran (“Tawandan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya dan janganlah kamu jadikan seorang pun di antara mereka menjadi pelindung dan jangan [pula] menjadi penolong.”) Yaitu, janganlah kalian berpihak dan minta tolong kepada mereka terhadap musuh-musuh Allah, selama mereka bersikap demikian.
Kemudian Allah mengecualikan di antara mereka dengan firman-Nya: illalladziina yashiluuna ilaa qaumim bainakum wa bainaHum miitsaaq (“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian [damai”.) Yaitu, kecuali orang-orang yang berlindung atau meminta bantuan kepada suatu kaum yang di antara kalian dan mereka ada perjanjian damai, atau akad dzimmah, maka hukumnya sama dengan hukum kaum tersebut. Inilah pendapat as-Suddi, Ibnu Zaid, dan Ibnu Jarir. Dan hal ini (pendapat ini) lebih sesuai dengan konteks pembicaraan.
Di dalam kitab Shahih al-Bukhari tentang kisah perjanjian Hudaibiyah, terdapat orang yang senang masuk dalam perjanjian damai Quraisy, dan ada pula yang senang masuk dalam perjanjian damai Muhammad dan para Sahabatnya.
Firman Allah: au jaa-uukum hashiirat shuduuruHum (“Atau orang-orang yang datang kepadamu, sedang hati mereka merasa keberatan.”) Mereka adalah kaum lain yang dikecualikan dari perintah untuk diperangi. Mereka adalah orang-orang yang datang ke dalam barisan dalam keadaan sempit dada dan marah jika kalian diperangi. Akan tetapi, mereka pun tidak mudah bergabung bersama kalian untuk memerangi kaum mereka sendiri. Mereka tidak ada dipihak kalian juga tidak dipihak mereka,
Wa lau syaa-allaaHu lasallathaHum ‘alaikum faqaataluukuum (“Kalau Allah menghendaki, tentu Allah memberi kekuasaan kepada mereka terhadapmu, lalu pastilah mereka memerangimu.”) Yaitu di antara kasih sayang-Nya kepada kalian adalah ditahannya mereka dari kalian. Fa ini’tazaluukum falam yuqaatiluukum wa alqau ilaikumus salama (“Tetapi jika mereka membiarkanmu, dan tidak memerangimu serta mengemukakan perdamaian kepadamu.”) Yaitu, menyerah,
Famaa ja’alallaaHu lakum ‘alaiHim sabiilan (“Maka Allah tidak memberi jalan bagimu terhadap mereka”.) Yaitu, tidak boleh bagi kalian memerangi mereka, selama mereka berada dalam kondisi tersebut. Mereka seperti sekelompok orang dari Bani Hasyim yang keluar pada perang Badar bersama orang-orang musyrik. Lalu mereka bertempur, padahal mereka membencinya, seperti `Abbas dan lain-lain. Untuk itu, Nabi saw. pada waktu itu melarang untuk membunuh `Abbas, dan memerintahkan untuk menawannya.
Dan firman-Nya: satajiduuna aakhariina yuriiduuna ay ya’manuukum wa ya’manuu qaumaHum (“Kelak kamu akan dapati [golongan-golongan] yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman daripadamu, dan aman [pula] dari kaumnya.”) Mereka -dalam bentuk fisik- sama dengan yang disebutkan sebelum mereka, akan tetapi niat mereka bukan seperti niat mereka tadi. Karena mereka adalah kaum munafik yang menampakkan Islam kepada Nabi dan para Sahabatnya, agar mereka mendapatkan keamanan atas darah, harta dan keturunan mereka. Dan mereka berbuat seperti perbuatan orang kafir dalam bathin mereka, beribadah bersama apa saja yang diibadahi mereka, agar mereka aman di kalangan mereka (orang-orang kafir). Sesungguhnya dalam bathin mereka bersama orang-orang kafir.
Sebagaimana firman Allah: “Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka menggtakan:`Sesungguhnya kami sependirian denganmu.’” (QS. Al-Baqarah: 14). Dan di sini Allah berfirman: kulla maa rudduu ilal fitnati urkisuu fiiHaa (“Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah [syirik], mereka pun terjun ke dalamnya.”) Yaitu mereka bergelimang di dalamnya. As-Suddi berkata: “Fitnah di sini adalah syirik.”
Allah berfirman: fa il lam ta’taziluukum wa yulquu ilaikumus salama (“Karena itu, jika mereka tidak membiarkanmu dan [tidak] mau mengemukakan perdamaian kepadamu.”) Perjanjian menghentikan perang dan perdamaian; wa yakuffuu aidiyaHum (“Serta tidak menahan tangan mereka.”) Yaitu dari memerangimu; fakhudzuuHum (“Maka ambillah mereka.”) Sebagai tawanan; waqtuluuHum haitsu tsaqiftumuuHum (“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemui mereka.”) Yaitu di mana saja kalian menjumpai mereka.
Wa ulaa-ikum ja’alnaa lakum ‘alaiHim suthaanam mubiinan (“Dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata [untuk menawan dan membunuh] mereka.”) Yaitu jelas dan terang.

88. “Maka Mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan[328] dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah Telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang Telah disesatkan Allah[329]? barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.”
(an-Nisaa’: 88)
[328] Maksudnya: golongan orang-orang mukmin yang membela orang-orang munafik dan golongan orang-orang mukmin yang memusuhi mereka.
[329] disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. dalam ayat ini, Karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi sesat.
Diriwayatkan oleh asy-Syaikhaan (al-Bukhari dan Muslim) dan lain-lain, yang bersumber dari Zaid bin Tsabit bahwa ketika Rasulullah saw. berangkat perang Uhud, sebagian dari pasukannya pulang kembali ke Madinah. Di kalangan para shahabat timbul dua pendapat, sebagian mengatakan agar orang yang mengundurkan diri itu dibunuh dan sebagian lagi melarangnya. Maka Allah menurunkan ayat ini (an-Nisaa’: 88) sebagai teguran agar tidak berselisih dalam menghadapi kaum munafik yang jelas kekafirannya.
Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Hatim, yang bersumber dari Sa’d bin Mu’adz bahwa ketika Rasulullah saw. berkhotbah, yang di antara sabdanya: “Siapakah pembelaku terhadap orang-orang yang berbuat jahat dan berkomplot merencanakan kejahatan terhadapku?” Berkatalah Sa’d bin Mu’adz: “Jikalau ia dari golonganku (Aus), kami yang akan membasminya, dan jika ia dari kalangan Khazraj, tuan perintahkan kepada kami, dan kami akan melaksanakannya.” Berdirilah Sa’ad bin ‘Ubadah (Bani Khazraj): “Apa urusanmu menyebut-nyebut taat kepada Rasulullah saw., hai Ibnu Muadz. Padahal engkau tahu bahwa itu bukan urusanmu saja.” Berdirilah Usaid bin Khudlair dan berkata: “Apakah engkau ini seorang munafi dan mencintai orang-orang munafik, hai Ibnu ‘Ubadah?” Berdirilah Muhammad bin Muslimah dan berkata: “Diamlah kalian, di hadapan kita ada Rasulullah saw. yang berhak memberi perintah dan kita melaksanakannya.” Maka turunlah ayat ini (an-Nisaa’: 88) sebagai peringatan untuk tidak berselisih dalam menghadapi kaum munafik.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
An-Nisaa’, ayat: 137-140
-Tidak ada taubat bagi orang yang murtad untuk kedua kaiinya dan semakin bertambah kekufurannya setelah itu
-Ancaman bagi orang-orang munafik dan orang-orang kafir
-Larangan untuk duduk bersama orang-orang yang sedang mengingkari dan mengolok-olok ayat Allah
An-Nisaa’, ayat: 141
-Sebagian sifat orang-orang munafik
An-Nisaa’, ayat: 142-143
-Di antara sifat lainnya dari orang-orang munafik
An-Nisaa’, ayat: 144-147
-Larangan untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai wali
-Adzab Allah bagi orang-orang munafik.
-Allah memaafkan bagi orang munafik yang bertaubat, lalu memperbaiki diri, berpegang teguh kepada Allah ikhlaskan agamanya kepada Allah

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim. (QS. 5:51) Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana.’ Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau suatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (QS. 5:52) Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: ‘Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?’ Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (QS. 5:53)” (al-Maa-idah: 51-53)
Allah Tabaraka wa Ta ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin mereka, karena mereka itu adalah musuh-musuh Islam dan musuh para pemeluknya, semoga Allah membinasakan mereka. Selanjutnya’Allah Ta’ala memberitahu-kan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian lainnya. Dan setelah itu Allah mengancam, dan menjanjikan siksaan bagi orang yang mengerjakan hal tersebut.
Allah berfirman: wa may yatawallaHum minkum fa innaHuu minHum (“Barang-siapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.”) Ibnu Abi Hatim mengatakan dari ‘Iyadh, “Bahwa ‘Umar pernah menyuruh Abu Musa al-Asy’ari untuk melaporkan kepadanya pemasukan dan pengeluaran (yang dicatat) pada selembar kulit yang telah disamak.
Pada waktu itu, Abu Musa al-Asy’ari mempunyai seorang sekretaris beragama Nasrani. Kemudian sekretarisnya itu menghadap `Umar untuk memberikan laporan, maka `Umar sangat kagum seraya berujar, `Ia benar-benar orang yang sangat teliti. Apakah engkau bisa membacakan untuk kami di masjid, satu surat yang baru kami terima dari Syam.’ Maka Abu Musaal-Asy’ari mengatakan, bahwa ia tidak bisa. Maka `Umar bertanya: `Apakah ia junub?’ Ia menjawab: `Tidak, tetapi ia seorang Nasrani.’
Maka `Umar pun menghardikku dan memukul pahaku, lalu berkata: `Keluarkanlah orang itu.’ Selanjutnya ‘Umar membaca: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tattakhidzuu yaHuuda wan nashaaraa auliyaa’ (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin pemimpin[mu]/sahabat karib.”)
Firman Allah: fa taral ladziina fii quluubiHim maradlun (“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya.”) Yaitu berupa keraguan dan kemunafikan. Mereka dengan cepat mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin (kerabat), dan mencintai mereka, baik secara lahir maupun batin.
Yaquuluuna nakhsyaa an tushiibanaa daa-iratun (“Seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana.’”) Mereka melakukan hal itu, yaitu dalam kecintaan dan loyalitas mereka adalah karena mereka takut akan terjadinya kemenangan kaum kafir atas kaum muslimin, jika hal ini terjadi, maka mereka mendapatkan perlindungan dari Yahudi dan Nashrani, maka hal itu bermanfaat bagi mereka. Mengenai hal tersebut Allah berfirman: fa ‘asallaaHu ay ya’tiya bil fat-hi (“Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan [kepada Rasul-Nya].”)
As-Suddi mengatakan: “Yaitu Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah).” Sedangkan ulama lainnya menafsirkan: “Yaitu ketetapan dan keputusan.”
Au amrim min ‘indiHii (“Atau suatu keputusan dari sisi-Nya.”) As-Suddi berkata: “Yaitu berupa pemberlakuan jizyah terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Fa yushbihuu (“Maka karena itu, mereka.”) Yakni orang-orang munafik yang mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. ‘alaa maa asarruu fii anfusiHim (“Terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.”) Yaitu atas pengangkatan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Naadimiin (“Menyesal.”) Yaitu atas tindakan mereka, di mana mereka tidak mendapatkan sesuatu pun dari mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani), bahkan mereka pun tidak memperoleh perlindungan, justru mereka malah mendapatkan keburukan dari mereka.
Maka rahasia mereka pun terungkap dan Allah pun memperlihatkan urusan mereka di dunia kepada orang-orang mukminin setelah sebelumnya urusan itu mereka rahasiakan, di mana tidak ada seorang pun yang mengetahui keadaan mereka sebenarnya. Tatkala rahasia mereka terbongkar, orang-orang mukmin pun melihat secara jelas jati diri mereka yang sesungguhnya. Maka mereka pun merasa heran, bagaimana mereka memperlihatkan bahwa mereka orang-orang yang beriman, bahkan bersumpah untuk itu. Maka tampaklah dengan jelas kebohongan dan kemunafikan mereka itu.
Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: wa yaquulul ladziina aamanuu a Haa-ulaa-il ladziinaqsamuu billaaHi jaHda aimaaniHim innaHum lama’akum habithat a’maaluHum fa ash-bahuu khaasiriin (“Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: `Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?’ Hapuslah semua amal perbuatan mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi.”)
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai sebab turunnya ketiga ayat tersebut di atas. As-Suddi menyebutkan, “Bahwa ayat-ayat itu turun berkenaan dengan dua orang yang salah satunya berkata kepada yang lainnya, yaitu setelah terjadinya perang Uhud: `Adapun aku, sesungguhnya aku akan pergi kepada orang Yahudi dan berlindung kepadanya, serta memeluk agama Yahudi bersamanya, mudah-mudahan dia akan bermanfaat bagiku jika terjadi sesuatu.’ Sedangkan yang lainnya berkata: `Adapun aku, aku akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di Syam, lalu aku berlindung kepadanya dan memeluk agama Nasrani bersamanya.’ Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tattakhidzuu yaHuuda wan nashaaraa auliyaa’ (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin[mu]/sahabat karib.”)
Muhammad bin Ishaq mengatakan dari ‘Ubadah bin al-Walid bin Ubadah bin Shamit, ia berkata: “Ketika bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah saw, ‘Abdullah bin Ubay berpihak pada mereka dan mendukung mereka. Kemudian Ubadah bin Shamit pergi menuju Rasulullah, ‘Ubadah bin Shamit adalah salah seorang dari Bani ‘Auf bin al-Khazraj yang terikat perjanjian dengan orang-orang Yahudi, seperti misalnya Bani Qainuga’ yang menjadi mitra ‘Abdullahbin ‘Ubay. Lalu ‘Ubadah menyuruh Bani ‘Auf supaya menghadap Rasulullah dan melepaskan diri dari sumpah orang-orang Yahudi dan Nasrani, untuk selanjutnya menuju kepada Allah dan Rasul-Nya. `Ubadah berkata: “Ya Rasulullah, aku melepaskan dini dari sumpah mereka dan bertolak menuju Allah dan Rasul-Nya. Dan aku hanya menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin sebagai penolong, dan aku melepaskan diri dari sumpah orang-orang kafir dan perwalian kepada mereka.”
Maka berkaitan dengan’Ubadah bin Shamit dan juga Abdullah bin ‘Ubay turunlah ayat-ayat di dalam surat al-Maa-idah: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tattakhidzuu yaHuuda wan nashaaraa auliyaa-a ba’dluHum auliyaa-u ba’dlin…. wa may yatawallallaaHa wa rasuulaHuu wal ladziina aamanuu fa inna hizballaaHi Humul ghaalibuun (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin pemimpin[mu]/sahabat karib. Sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. -sampai dengan firman-Nya- Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut [agama] Allah itulah yang pasti menang.”)

51. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
(al-Maa’idah: 51)
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Baihaqi, yang bersumber dari ‘Ubadah bin ash-Shamit bahwa ‘Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafik Madinah) dan ‘Ubadah bin ash-Shamit (salah seorang tokoh Islam dari Bani ‘Auf bin Khazraj) terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa’. Ketika Bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah saw.. ‘Abdullah bin Ubay tidak melibatkan diri. Sedangkan ‘Ubadah bin ash-Shamit berangkat menghadap Rasulullah saw. untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatannya dengan Bani Qainuqa’ itu , serta menggabungkan diri bersama Rasulullah dan menyatakan hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 51) yang mengingatkan orang yang beriman untuk tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengangkat kaum Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin mereka.
55. “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”
(al-Maa’idah: 55)
Diriwayatkan oleh ath-Thabarani di dalam kitab al-Ausath-dalam sanadnya terdapat rawi yang tidak dikenal- yang bersumber dari ‘Ammar bin Yasir. Hadits ini diperkuat oleh hadits-hadits: 1. Yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari ‘Abdulwahhab bin Mujahid, dari bapaknya, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. 2. Yangdiriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih melalui rawi lain, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. 3. Yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardiwaih yang bersumber dari ‘Ali. 4. Yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, dari Inu Abi Hatim, yang bersumber dari Salamah bin Kuhail. Hadits-hadits tersebut saling menguatkan. Bahwa ketika seorang peminta-minta datang kepada ‘Ali bin Abi Thalib yang pada waktu itu sedang shalat tathawwu’ (sunat), ia tanggalkan cincinnya dan menyerahkannya kepada si peminta-minta. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 55) yang mengemukakan beberapa ciri pemimpin yang wajib ditaati.
57. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang Telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.”
(al-Maa’idah: 57)
59. Katakanlah: “Hai ahli kitab, apakah kamu memandang kami salah, Hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik ?”
(al-Maa’idah: 59)
Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dan Ibnu Hibban, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rifa’ah bin Zaid bin at-Tabut dan Suwaid bin al-Harits memperlihatkan keislaman, padahal sebenarnya mereka itu munafik. Salah seorang dari kaum Muslimin bersimpati kepada kedua orang itu. Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 57) yang melarang kaum Muslimin mengangkat kaum munafik sebagai pemimpin mereka.
Selanjutnya Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa serombongan kaum Yahudi, di antaranya Abu Yasir bin Akhthab, Nafi’ bin Abi Nafi’, dan Ghazi bin ‘Amr datang menghadap Nabi saw. dan bertanya: “Kepada rasul yang mana tuan beriman?” Nabi menjawab: “Aku beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa, dan kepada apa-apa yang diberikan kepda nabi-nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan hanya kepada-Nya lah kami berserah diri.” (Ali’Imraan: 84). Ketika Nabi menyebut nama ‘Isa, mereka mengingkari kenabiannya dan berkata: “Kami tidak percaya kepada ‘Isa dan tidak percaya kepada orang yang beriman kepada ‘Isa.” Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 59) berkenaan dengan peristiwa tersebut. Ayat tersebut merupakan teguran kepada orang-orang yang membenci Rasulullah karena beriman kepada rasul-rasul dan apa-apa yang diturunkan kepada mereka sebelumnya.
Sumber: asbabun nuzul, KHQ Shaleh dkkk

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (QS. 5:57) Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (QS. 5:58)” (al-Maa-idah: 57-58)
Yang demikian itu merupakan peringatan agar kaum muslimin tidak berlindung kepada musuh-musuh Islam, dan sekutunya dari kalangan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum musyrikin yang menjadikan syari’at Islam yang suci, muhkam (tegas), dan mencakup segala kebaikan dunia dan akhirat, sebagai bahan ejekan dan permainan menurut keyakinan dan pandangan mereka yang rusak, dan fikiran mereka yang beku. Sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang penyair:
Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar.
Sebenarnya hal itu berpangkal dari pemahaman yang salah.
Firman Allah: minal ladziina uutul kitaaba min qablikum wal kuffaara (“[Yaitu] di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, serta orang-orang yang kafir [orang-orang musyrik]”) Kata “min” (dari), dalam penggalan ayat ini dimaksudkan untuk menerangkan jenis, hal itu sama seperti firman-Nya yang artinya:
“Maka jauhilah olehmu yang najis itu dari jenis berhala.” (QS. Al-Hajj: 30). Yang dimaksud “orang-orang kafir” di sini adalah orang-orang musyrik.
Firman-Nya: wattaqullaaHa in kuntum mu’miniin (“Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.”) Maksudnya, takutlah kepada Allah dari menjadikan musuh-musuh kalian dan agama kalian sebagai pelindung, jika kalian memang benar-benar orang-orang yang beriman kepada syari’at Allah, yang mereka (musuh-musuh Islam) telah menjadikannya sebagai bahan ejekan dan permainan.
Firman-Nya lebih lanjut: wa idzaa naadaitum ilash shalaatit takhadzuuHaa Huzuwaw wala’iban (“Dan apabila kamu menyeru [mereka] untuk [mengerjakan] shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan.”) Artinya, demikian pula halnya jika kalian menyeru mereka untuk mengerjakan shalat, yang merupakan amal paling baik menurut orang-orang yang berakal dan berpengetahuan dari mereka yang mempunyai hati nurani,
ittakhadzuuHaa (“Mereka menjadikannya.”) Juga sebagai: Huzuwaw wala’iban dzaalika bi-annaHum qaumul laa ya’qiluun (“Buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.”) Yaitu tidak memahami makna-makna ibadah kepada Allah dan syari’at-syari’at-Nya, dan itulah sifat-sifat para pengikut syaitan.
“Jika syaitan mendengar seruan adzan, maka ia berpaling sambil kentut, sehingga tidak mendengar seruan adzan tersebut. Dan jika adzan itu telah selesai, maka ia datang lalu menggoda seseorang yang sedang shalat. Dan apabila diiqamah-kan untuk shalat, ia pun pergi. Dan bila iqamah telah selesai, syaitan pun datang lagi, lalu membisikkan kepada hati seseorang, ia berkata: “Ingatlah hal ini dan hal itu, ” terhadap sesuatu yang belum diingat, sehingga orang itu tidak mengetahui berapa raka’at yang sudah ia kerjakan. Oleh karena itu, apabila salah seorang di antara kalian mendapatkan hal seperti itu, maka hendaklah ia bersujud (sahwi) dua kali sebelum mengucapkan salam.” (Muttafaqunalaihi).
Az-Zuhri mengatakan, “Allah Ta’ala telah menyebutkan masalah adzan (seruan untuk shalat) ini dalam kitab-Nya: wa idzaa naadaitum ilash shalaatit takhadzuuHaa Huzuwaw wala’iban dzaalika bi-annaHum qaumul laa ya’qiluun (“Dan apabila kamu menyeru [mereka] untuk [mengerjakan] shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. ” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim).
Mengenai firman Allah: wa idzaa naadaitum ilash shalaatit takhadzuuHaa Huzuwaw wala’iban (“Dan apabila kamu menyeru [mereka] untuk [mengerjakan] shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan.”) Asbath mengatakan dari as-Suddi, ia berkata: “Ada seorang Nasrani di Madinah. Jika mendengar seseorang menyerukan (adzan), ‘Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah,’ maka ia berkata: ‘Mudah-mudahan pendusta itu terbakar.’ Pada suatu malam, ada seorang pelayannya yang masuk ke dalam rumah dengan membawa api, ketika ia dan keluarganya sedang tidur. Kemudian ada percikan api yang jatuh, lalu mem-bakar rumah sehingga orang Nasrani dan keluarganya pun terbakar.” (Di-riwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim).


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong Dengan orang-orang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada nabi dan kepada apa yang diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrik itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-Maa-idah: 78-81)
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia telah melaknat orang-orang kafir dari kaum Bani Israil dalam masa yang cukup lama, yaitu melalui apa yang Dia turunkan kepada nabi-Nya, yaitu Nabi Daud a.s.; dan melalui lisan Isa putra Maryam, karena mereka durhaka kepada Allah dan bertindak sewenang-wenang terhadap makhlukNya.
Al-Aufi menceritakan dari Ibnu Abbas, bahwa mereka dilaknat dalam Taurat, Injil, Zabur, dan AlFurqan (AlQur’an). Kemudian Allah menjelaskan perihal yang biasa mereka lakukan di masanya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
Kaanuu laa yatanaaHauna ‘am munkarin fa’aluuHu, labi’sa maa kaanuu yaf’aluun (“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.”) (Al-Maidah: 79)
Yakni satu sama lainnya tidak mau melarang perbuatan-perbuatan dosa dan haram yang mereka perbuat. Kemudian Allah mencela mereka atas perbuatan itu agar dijadikan pelajaran dan peringatan bagi yang lainnya untuk tidak melakukan perbuatan yang semisal. Untuk itu, Allah Swt. berfirman:
labi’sa maa kaanuu yaf’aluun (“Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.”) (Al-Maidah: 79)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Syarik ibnu Abdullah, dari Ali ibnu Bazimah, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pemah bersabda:
“Ketika kaum Bani Israil tenggelam ke dalam perbuatan-perbuatan maksiat, maka para ulamanya mencegah mereka, tetapi mereka tidak mau berhenti. Lalu para ulama mereka mau duduk bersama dengan mereka dalam majelis-majelis mereka.”
Yazid mengatakan bahwa menurutnya Syarik ibnu Abdullah mengatakan, “Di pasar-pasar mereka, dan bermuamalah dengan mereka serta minum bersama mereka. Karena itu, Allah memecah-belah hati mereka, sebagian dari mereka bertentangan dengan sebagian yang lain; dan Allah melaknat mereka melalui lisan Nabi Daud dan Nabi Isa ibnu Maryam.”
Dzaalika bimaa ‘ashau wa kaanuu ya’taduun (“Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.”) (Al-Maidah: 78)
Pada mulanya Rasulullah Saw. bersandar, lalu duduk dan bersabda: “Tidak, demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sebelum kalian menyeret mereka kepada perkara yang hak dengan sebenar-benarnya.”
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad An-Nafili, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Rasyid, dari Ali ibnu Bazimah, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
“Sesungguhnya kekurangan yang mula-mula dialami oleh kaum Bani Israil ialah bilamana seorang lelaki bertemu dengan lelaki lain (dari kalangan mereka), maka ia berkata kepadanya, ‘Hai kamu, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah dosa yang kamu lakukan itu, sesungguhnya perbuatan itu tidak halal bagimu.’ Kemudian bila ia menjumpainya pada keesokan harinya, maka hal tersebut tidak mencegahnya untuk menjadi teman makan, teman minum, dan teman duduknya. Setelah mereka melakukan hal tersebut, maka Allah memecah-belah hati mereka; sebagian dari mereka bertentangan dengan sebagian yang lain.”
Kemudian Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: lu-‘inal ladziina kafaruu mim banii israa-iila ‘alaa lisaani daawuuda wa ‘iisabni maryama. (“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam.”) (Al-Maidah: 78) sampai dengan firman-Nya:
Faasiquun (“orang-orang yang fasik.”) (Al-Maidah: 81)
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak, demi Allah, kamu harus amar ma’ruf dan nahi munkar, dan kamu harus mencegah perbuatan orang yang zalim, membujuknya untuk mengikuti jalan yang benar atau kamu paksa dia untuk mengikuti jalan yang benar.”
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Ibnu Majali melalui jalur Ali ibnu Bazimah dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan gharib. Kemudian dia dan Ibnu Majah meriwayatkannya pula melalui Bandar, dari Ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Ali ibnu Bazimah dari Abu Ubaidah secara mursal.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj dan Harun ibnu Ishaq Al-Hamdani; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari Abdullah ibnu Amr ibnu Murrah, dari Salim Al-Aftas, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Sesungguhnya seorang lelaki dari kalangan kaum Bani Israil apabila melihat saudaranya sedang melakukan dosa, maka ia melarangnya dari perbuatan dosa itu dengan larangan yang lunak Dan apabila keesokan harinya apa yang telah ia lihat kemarin darinya tidak mencegahnya untuk menjadi teman makan, teman bergaul, dan teman muamalahnya.”
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Harun disebutkan, “Dan teman minumnya.” Akan tetapi, keduanya sepakat dalam hal matan berikut, yaitu:
“Setelah Allah melihat hal tersebut dari mereka, maka Dia memecah-belah hati mereka, sebagian dari mereka bertentangan dengan sebagian yang lain; dan Allah melaknat mereka melalui lisan Daud dan Isa ibnu Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.”
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaanNya, kalian harus beramar ma ‘ruf dan nahi munkar, dan kalian harus memegang tangan orang yang jahat, lalu kalian paksa dia untuk tunduk kepada perkara yang hak dengan sebenar-benarnya. Atau Allah akan memecah-belah hati sebagian dari kalian atas sebagian yang lain, atau Allah akan melaknat kalian seperti Dia melaknat mereka.”
Konteks ini ada pada Abu Sa’id. Demikianlah menurut Ibnu Abu Hatim dalam riwayat hadis ini.
Imam Abu Daud telah meriwayatkannya pula dari Khalaf ibnu Hisyam, dari Abu Syihab Al-Khayyat, dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari Amr ibnu Murrah, dari Salim (yaitu Ibnu Ajian Al-Aftas), dari Abu Ubaidah ibnu Abdullah ibnu Mas’ud, dari ayahnya, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal. Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa hal yang sama telah diriwayatkan oleh Khalid dari Al-Ala, dari Amr ibnu Murrah dengan sanad yang sama.
Al-Muharibi meriwayatkannya dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari Abdullah ibnu Amr ibnu Murrah, dari Salim Al-Aftas, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah (Ibnu Mas’ud).
Guru kami, AlHafiz Abui Hajjaj Al-Mazi, mengatakan bahwa Khalid ibnu Abdullah Al-Wasiti telah meriwayatkannya dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari Amr ibnu Murrah, dari Abu Ubaidah, dari Abu Musa.
Hadishadis yang menerangkan tentang amar ma ‘ruf dan nahi munkar banyak sekali jumlahnya. Berikut ini kami ketengahkan sebagian darinya yang berkaitan dengan tafsir ayat ini. Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan hadis Jabir, yaitu pada tafsir firman-Nya:
“Mengapa orang-orang ‘alim mereka dan pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka.” (Al-Maidah: 63) Dan kelak akan disebutkan hadis Abu Bakar AsSiddiq dan Abu Sa’labah Al-Khusyani pada tafsir firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk.” (Al-Maidah: 105)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ja’far, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Amr, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman Al-Asyhali, dari Huzaifah ibnul Yaman, bahwa Nabi Saw. telah
bersabda:
“Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya….. melarang terhadap kemungkaran, ataukah benar-benar dalam waktu yang dekat Allah akan menimpakan suatu siksaan dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian benar-benar berdoa memohon kepadaNya, tetapi Dia tidak memperkenankan bagi kalian.”
Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ali ibnu Hajar, dari Ismail ibnu Ja’far dengan sanad yang sama, lalu Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.
Abu Abdullah —yaitu Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah— mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah ibnu Hisyam, dari Hisyam ibnu Sa’d, dari Amr ibnu Usman, dari Asim ibnu Umar ibnu Usman, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Beramar ma’rufIah dan bernahi munkarlah kalian sebelum (tiba masanya) kalian berdoa, lalu tidak diperkenankan bagi kalian.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara munfarid, dan Asim orangnya tidak dikenal. Di dalam kitab Sahih melalui Al-A’masy, dari Ismail ibnu Raja, dari ayahnya, dari Abu Sa’id dan dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab, dari Abu Sa’id Al-Khudri disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pemah bersabda:
“Barang siapa dari kalangan kalian melihat perkara mungkar (dikerjakan), hendaklah ia mencegahnya dengan tangan (kekuasaan)nya. Jika ia tidak mampu, cegahlah dengan lisannya. Dan jika ia tidak mampu, hendaklah hatinya mengingkarinya; yang demikian itu merupakan iman yang paling lemah. (Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Saif (yaitu Ibnu Abu Sulaiman); ia pernah mendengar Addi ibnu Addi Al-Kindi menceritakan dari Mujahid, telah menceritakan kepadanya seorang maula (bekas budak) kami, bahwa ia pernah mendengar kakek —yakni Addi ibnu Umairah r.a.— menceritakan hadis berikut, bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak mengazab orang awam karena perbuatan orang-orang khusus sebelum mereka (orang-orang khusus) melihat perkara mungkar dikerjakan di hadapan mereka, sedangkan mereka berkemampuan untuk mencegahnya, lalu mereka tidak mencegahnya. Maka apabila mereka berbuat demikian, barulah Allah mengazab orang-orang khusus dan orang-orang awam.”
Kemudian Ahmad meriwayatkannya dari Ahmad ibnul Hajjaj, dari Abdullah ibnul Mubarak, dari Saif ibnu Abu Sulaiman, dari Isa ibnu Addi Al-Kindi yang mengatakan, “Telah menceritakan kepadaku seorang maula kami yang telah mengatakan bahwa ia pernah mendengar kakekku mengatakan bahwa kakek pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, (lalu ia menuturkan hadis ini). Demikianlah menurut riwayat Imam Ahmad dari dua jalur tersebut.
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Ala, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami Al-Mugirah ibnu Ziyad Al-Mausuli, dari Addi ibnu Addi, dari Al-Urs (yakni Ibnu Umairah), dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
“Apabila perbuatan dosa dilakukan di bumi, maka orang yang menyaksikannya lalu membencinya —dan di lain waktu beliau mengatakan bahwa lalu ia memprotesnya— maka kedudukannya sama dengan orang yang tidak menyaksikannya Dan barang siapa yang tidak menyaksikannya, tetapi ia rela dengan perbuatan dosa itu, maka kedudukannya sama dengan orang yang menyaksikannya (dan menyetujuinya).
Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid. Kemudian Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Yunus, dari Abu Syihab, dari Mugirah ibnu Ziyad, dari Addi ibnu Addi secara mursal.
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb dan Hafs ibnu Umar; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Syu’bah—berikut ini adalah lafaznya—, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buhturi yang mengatakan, telah menceritakan kepadaku orang yang pernah mendengar dari Nabi Saw. Dan Sulaiman mengatakan, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi Saw. bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
“Manusia tidak akan binasa sebelum mereka mengemukakan alasannya atau diri mereka dimaafkan.”
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid ibnu Jad’an, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah Saw. berdiri melakukan khotbahnya, antara lain beliau Saw. mengatakan:
“Ingatlah, jangan sekali-kali seorang lelaki merasa enggan karena takut kepada manusia (orang lain) untuk mengatakan perkara yang hak jika ia mengetahuinya.”
Abu Nadrah melanjutkan kisahnya, “Setelah mengemukakan hadis ini Abu Sa’id menangis, lalu berkata, ‘Demi Allah, kami telah melihat banyak hal, tetapi kami takut (kepada orang lain)’.”
Di dalam hadis Israil, dari Atiyyah, dari Abu Sa’id yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Jihad yang paling utama ialah perkataan yang hak di hadapan sultan yang zalim.” (Hadis riwayat Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah)
Imam Turmuzi mengatakan bahwa bila ditinjau dari segi ini, hadis berpredikat hasan garib.
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rasyid ibnu Sa’id Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Abu Galib, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa seorang lelaki menghadap kepada Rasulullah Saw. ketika beliau berada di jumrah pertama, lalu lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah jihad yang paling utama itu?”
Rasulullah Saw. diam, tidak menjawab. Ketika beliau Saw. melempar jumrah kedua, lelaki itu kembali bertanya, tetapi Nabi Saw, tetap diam. Setelah Nabi Saw. melempar jumrah ‘aqabah, lalu meletakkan kakinya pada pijakan pelana kendaraannya untuk mengendarainya, maka beliau bertanya, “Di manakah orang yang bertanya tadi?” Lelaki itu menjawab, “Saya, wahai Rasulullah,” Rasulullah Saw. bersabda: “Kalimah hak yang diucapkan di hadapan penguasa yang sewenang-wenang.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah secara munfarid).
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Numair dan Abu Mu’awiyah, dari AlA’masy, dari Amr ibnu Murrah, dari Abui Buhturi, dari Abu Sa’id yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Janganlah seseorang di antara kalian menghina dirinya sendiri.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang di antara kami menghina dirinya sendiri? ” Rasulullah Saw. menjawab, “(Bila) ia melihat suatu urusan menyangkut Allah yang harus diluruskannya, kemudian ia tidak mau mengatakannya. Maka kelak di hari kiamat Allah akan berfirman kepadanya, ‘Apakah yang menghalang-halangi kamu untuk mengatakan hal yang benar mengenai Aku dalam masalah anu, anu, dan anu?’ Maka ia menjawab, ‘Takut kepada manusia (orang lain).’ Maka Allah berfirman, ‘Sebenarnya Akulah yang harus engkau takuti’.”
(Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini secara munfarid.)
Ibnu Majah mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abdur Rahman Abu Jiwalah, telah menceritakan kepada kami Nahar Al-Abdi; ia pernah mendengar Abu Sa’id Al-Khudri mengatakan bahwa ia pemah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah menanyai hamba-hambaNya di hari kiamat, sehingga Dia mengatakan, “Apakah yang menghalang-halangimu ketika kamu melihat perkara mungkar untuk mengingkarinya?”
Apabila Allah telah mengajarkan kepada seorang hamba alasan yang dikemukakannya, maka hamba itu berkata, “Wahai Tuhanku, saya berharap kepada-Mu dan saya tinggalkan manusia.”
(Hadis ini pun diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara munfarid, dan sanadnya boleh dipakai.)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Asim, dari Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid, dari Al-Hasan, dari Jundub, dari Huzaifah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
“Tidak layak bagi seorang muslim menghina dirinya sendiri.” Ketika ditanyakan, “Bagaimanakah seseorang dapat menghina dirinya sendiri? ” Nabi Saw. bersabda, “Melibatkan dirinya ke dalam bencana yang tidak mampu dipikulnya.”
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah, semuanya dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Amr ibnu Asim dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan, hadis ini (kalau bukan) hasan (berarti) gharib.
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami AI-Abbas ibnul Walid Ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu Yahya ibnu Ubaid Al-Khuza’i, telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Abu Ma’bad Hafs ibnu Gailan Ar-Ra’ini, dari Makhul, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa pernah ditanyakan, “Wahai Rasulullah, bilakah amar ma’ruf dan nahi munkar ditinggalkan?” Maka Rasulullah Saw. menjawab: “Apabila muncul di kalangan kalian hal-hal yang pemah muncul di kalangan umat sebelum kalian.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang pemah muncul di kalangan umat-umat sebelum kami?” Rasulullah Saw. bersabda: “Kerajaan (kekuasaan) di tangan orang-orang kecil kalian, perbuatan keji dilakukan di kalangan para pembesar kalian, dan ilmu berada di tangan orang-orang rendah kalian.”
Zaid mengatakan sehubungan dengan makna sabda Nabi Saw. yang mengatakan: “Dan ilmu di tangan orang-orang rendah kalian.”
Makna yang dimaksud ialah bilamana ilmu dikuasai oleh orang-orang yang fasik. Hadis diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah secara munfarid.
Dan di dalam hadis Abu Sa’labah yang akan diketengahkan dalam tafsir firmanNya: “tiada orang yang sesat saat itu akan memberi mudarat kepada kalian, apabila kalian telah mendapat petunjuk (Al-Maidah: 105) terdapat bukti yang memperkuat hadis ini.
Firman Allah Swt.: taraa katsiiram minHum yatawallaunal ladziina kafaruu (“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang kafir [musyrik]”). (Al-Maidah: 80)
Menurut Mujahid, mereka adalah orang-orang munafik.
Firman Allah Swt.: labi’sa maa qaddamat laHum anfusuHum (“Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka.”) (Al-Maidah: 80)
Yang dimaksud dengan hal tersebut ialah mereka berpihak kepada orang-orang kafir dan meninggalkan orang-orang mukmin, yang akibatnya hati mereka menjadi munafik dan Allah murka terhadap mereka dengan murka yang terus-menerus sampai hari mereka dikembalikan kepadaNya. Karena itulah disebutkan oleh firmanNya:
An sakhithallaaHu ‘alaiHim (“yaitu kemurkaan Allah kepada mereka.”) (Al-Maidah: 80)
Ayat ini mengandung pengertian sebagai celaan terhadap perbuatan mereka itu. Selanjutnya Allah Swt. memberitahukan bahwa mereka mengalami nasib berikut:
Wa fil ‘adzaabi Hum khaaliduun (“dan mereka akan kekal dalam siksaan.”) (Al-Maidah: 80)
Yakni kelak di hari kiamat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ali, dari Al-A’masy dengan sanad yang disebutkannya:
“Hai semua orang muslim, jauhilah oleh kalian perbuatan zina,….. perkara; tiga di dunia, dan tiga lagi di akhirat. Adapun di dunia, maka sesungguhnya perbuatan zina itu dapat menghapuskan ketampanan (kewibawaan), mengakibatkan kefakiran, dan mengurangi umur. Adapun yang di akhirat, maka sesungguhnya perbuatan zina itu memastikan murka Tuhan, hisab yang buruk dan kekal dalam neraka.”
Kemudian Rasulullah Saw. membacakan firmanNya: labi’sa maa qaddamat laHum anfusuHum An sakhithallaaHu ‘alaiHim Wa fil ‘adzaabi Hum khaaliduun (“Sesungguhnya amat buruklah apayang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan.” (Al-Maidah: 80)
Hal yang sama telah diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Murdawaih telah meriwayatkannya melalui jalur Hisyam ibnu Ammar, dari Muslim, dari Al-A’masy, dari Syaqiq, dari Huzaifah, dari Nabi Saw., lalu ia mengetengahkan hadis ini. Ia pun mengetengahkannya pula melalui jalur Sa’id ibnu Afir, dari Muslim, dari Abu Abdur Rahman Al-Kufi, dari Al-A’masy, dari Syaqiq, dari Huzaifah, dari Nabi Saw., lalu ia mengetengahkan hadis yang semisal. Akan tetapi, dalam keadaan bagaimana pun hadis ini berpredikat daif.
Firman Allah Swt.: wa lau kaanuu yu’minuuna billaaHi wan nabiyyi mimmaa unzila ilaiHi mat takhadzuuHum auliyaa-a (“Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada nabi, dan kepada apa yang diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrik itu menjadi penolong-penolong.” (Al-Maidah: 81)
Dengan kata lain, sekiranya mereka beriman dengan sesungguhnya kepada Allah dan Rasul-Nya serta AIQur’an, niscaya mereka tidak akan terjerumus ke dalam perbuatan menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong-penolong mereka dalam batinnya, dan memusuhi orang-orang yang beriman kepada Allah, Nabi, dan Al-Our’an yang diturunkan kepadanya.
Wa laakinna katsiiram minHum faasiquun (“Tetapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.”) (Al-Maidah: 81)
Yakni keluar dari jalan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta menentang ayat-ayat wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin: pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim. (QS. 9:23) Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. 9:24)” (at-Taubah / al-Bara’ah: 23-24)
Allah memerintahkan agar meninggalkan orang-orang kafir meskipun mereka itu adalah bapak atau anak kita. Allah juga melarang kita bersahabat dengan mereka jika mereka lebih memilih kekafiran daripada iman. Dalam hal ini, Allah juga memberikan peringatan, seperti firman-Nya yang artinya:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Mujadilah: 22).
Kemudian Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk memberikan peringatan kepada orang-orang yang lebih mengutamakan keluarga dan kerabatnya daripada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya, Allah berfirman:
Qul in kaana aabaa-ukum wa abnaa-ukum wa ikhwaanukum wa azwaajukum wa ‘asyiiratukum wa amwaaluniq taraftumuuHaa (“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan.”) dan kamu memperolehnya.
Wa tijaaratun takhsyauna kasaadaHaa wa masaakinu tardlaunaHaa (“dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai”) yakni yang kamu sukai karena keindahan dan keelokannya. Jika semua ini:
Ahabba ilaikum minallaaHi wa rasuuliHii wa jiHaadi fii sabiiliHii fatarabbashuu (“Lebih kamu cintai daripada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya, maka tunggulah.”) yakni tunggulah hukuman apa yang akan menimpamu, untuk itu Allah berfirman:
hattaa ya’tiyallaaHu bi-amriHi wallaaHu laa yaHdil qaumal faasiqiin (“Hingga Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”)
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak beriman seorang di antara kamu hingga aku lebih ia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Al-Bukhari).
Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu `Umar, ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Jika kalian telah melakukan jual-beli dengan cara ‘inah’, kalian sibuk dengan peternakan, puas dengan pertanian, dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan yang Allah tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada (ajaran) agama kalian.”
Hadits ini adalah penguat bagi hadits yang sebelumnya. Wallahu a’lam.
(‘inah: Sejenis jual beli yang mengandung unsur riba: Ed)

23. “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (Baraa’ah: 23)
24. Katakanlah: “Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Baraa’ah: 24)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari ‘Ali bin Abi Thalhah yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa pada waktu ditawan dalam Peperangan Badr, al-‘Abbas berkata: “Sekiranya kalian termasuk orang-orang yang telah lebih dulu masuk Islam, hijrah, dan jihad, sebenarnya kami termasuk orang-orang yang memakmurkan masjidil Haram, memberikan minum kepada orang-orang yang naik haji, dan membebaskan orang-orang dari penderitaannya.” Maka turunlah ayat ini (Baraa’ah: 17-19) yang menegaskan bahwa orang-orang yang memakmurkan masjid dan lain-lain, serta belum beriman itu tidak sama dengan orang-orang yang beriman dan berjihad di jalan Allah.
Diriwayatkan oleh Muslim, Ibnu Hibban, dan Abu Dawud, yang bersumber dari sumber dari an-Nu’man bin Basyir bahwa pada suatu hari an-Nu’man bahwa pada suatu hari an-Nu’man bin Basyir berada disamping mimbar Rasullah saw. bersama beberapa orang sahabat lainya. Berkatalah seorang diantara mereka: “Aku tedak memperdulikan amal saleh yang lain, setelah Islam tersebar (Fat-hu Makkah), kecuali akan memberi minum kepada orang yang naik haji, ”Yang lainnya berkata: “Aku hanya akan memakmurkan Masjidil Haram.” Yang lainnya lagi berkata: “Aku hanya akan berjihad di jalan Allah. Perbuatan itu lebih baik daripada apa yang kalian katakan.” ‘Umar membenta mereka seraya berkata: “Janganlah kalian berbicara keras-keras di samping mimbar Rasullah saw.! Nanti setelah shalat jum’at, aku kan menghadap Rasullah saw. untuk meminta fatwa tentang apa yang kamu perselisihkan itu.” Turunnya ayat ini (Q.S. 9 Bara-ah: 19) sebagai penegasan bahwa orangg yang mengkhususkan pada amal saleh tertentu saja, tidah sama kepada orng yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta berjihad di Jalan-nya.
Diriwayatkan oleh al-Faryabi yang bersumber dari Ibnu sirin. Dirwayatkan pula oleh ‘Abdurrazzaq yang bersumber dari asy-Syu’bi. Bahwa ‘Ali bin Abi Thalib datang ke Mekah dan berkata kepada al-‘Abbas: “Wahai pamanku, tidakkah engkau ingin hijrah ke Madinah untuk mengikuti Rasulullah saw.?” Ia menjawab: “Bukankah aku ini suka memakmurkan mesjid dan mengurus baitullah?” Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang menegaskan perbedaan antara orang yang beriman dan berjihad di jalan Allah dengan orang-orang yang hanya berbuat kebaikan. Kemudian ‘Ali berkata kepada yang lainnya dengan menyebutkan namanya satu persatu: “Tidakkah kalian ingin berhijrah mengikuti Rasulullah ke Madinah?” Mereka menjawab: “Kami tinggal di sini beserta saudara-saudara dan teman-teman kami sendiri.” Sehubungan dengan peristiwa ini, turunlah ayat berikutnya (Baraa’ah: 24) yang menegaskan bahwa orang-orang yang lebih mencintai sanak saudara, keluarga, kawan dan kekayaannya daripada mencintai Allah dan Rasul-Nya serta jihad fisabilillah, diancam dengan azab Allah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Muhammad bin Ka’b al-Qurazhi bahwa Thalhah bin Syaibah, al-‘Abbas, dan ‘Ali bin Abi Thalib membanggakan dirinya masing-masing. Thalhah berkata: “Aku yang menguasai baitullah, dan kuncinyapun ada padaku.” Al-‘Abbas berkata: “Aku tukang memberi minum kepada jemaah haji dan mengurus mereka.” Dan ‘Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku adalah orang pertama yang shalat menghadap kiblat sebelum orang-orang menghadap ke arahnya. Aku juga sering memimpin jihad fisabilillah.” Turunnya ayat ini (Baraa’ah: 19) menegaskan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta berjihad fisabilillah, jauh berbeda dengan orang yang mengurus orang-orang yang naik haji ataupun yang mengurus Baitullah.
Sumber: asbabun nuzul, KHQ Shaleh

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
“1. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. dan Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya Dia telah tersesat dari jalan yang lurus. 2. jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. 3. karib Kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Mumtahanah: 1-3)
Yang menjadi sebab turunnya awal surah ini adalah kisah Hathib bin Abi Balta’ah. Dikisahkan, Hathib adalah salah seorang di antara kaum Muhajirin yang juga orang yang termasuk mengikuti perang Badar. Di Makkah dia mempunyai beberapa orang anak, dan dia bukan orang Quraisy. Tetapi ia adalah seorang sekutu ‘Utsman. Ketika Rasulullah saw. bertekad untuk menaklukkan kota Makkah setelah penduduknya melanggar perjanjian, beliau memerintahkan kaum Muslimin untuk bersiap-siap berperang dengan mereka secara terang-terangan. Beliau bersabda: “Ya Allah rahasiakanlah kepada mereka berita kami ini.”
Kemudian Hathib muncul, lalu ia menulis surat dan mengirimkannya melalui seorang wanita dari suku Quraisy kepada penduduk Makkah untuk memberitahukan kepada mereka tentang tekad Rasulullah saw. untuk memerangi mereka, supaya mereka bersiap-siap. Kemudian Allah memperlihatkan hal tesebut kepada Rasul-Nya sebagai bentuk pengabulan-Nya terhadap doa beliau. Lalu Rasulullah saw. mengirimkan utusan untuk menyusul wanita tersebut. Utusan beliau pun mengambil surat dari wanita itu.
Hal teresebut telah dikemukakan dalam hadits yang sudah disepakati keshahihannya.
Imam Ahmad meriwayatkan, Sufyan memberitahu kami dari pamannya, dari Hasan bin Muhammad bin ‘Ali dari ‘Abdullah bin Abi Rafi’, Murrah berkatan: Sesungguhnya ‘Ubaidullah bin Abi Rafi’ memberitahunya, bahwa ia pernah mendengar ‘Ali bercerita: Rasulullah saw. pernah mengutusku, az-Zubair dan al-Miqdad. Lalu beliau bersabda: “Pergilah kalian hingga sampai ke kebun Khakh. Disana terdapat seorang wanita yang memegang surat, ambillah surat itu darinya.” Kamipun pergi melarikan kuda kami hingga sampai di kebun itu. Ketika kami bertemu wanita itu, kami berkata: “Keluarkanlah surat itu.” Ia mengatakan: “Aku tidak membawa surat.” Kami berkata: “Kamu keluarkan surat itu atau kamu tinggalkan pakaianmu.” Lalu ia mengeluarkan surat itu dari sanggulnya. Kami pun mengambil surat itu dan memberikannya kepada Rasulullah saw. Ternyata surat dari Hathib bin Abi Balta’ah yang dialamatkan kepada kaum musyrikin Makkah. Surat itu memberitahukan kepada mereka tentang sebagian perkara yang akan dilakukan oleh Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. bertanya: “Hai Hathib, apa ini?” Hathib berkata: “Jangan engkau terburu-buru [berprasangka buruk] terhadapku. Dahulu aku adalah orang yang berada [hidup] di dekat orang-orang Quraisy, namun aku bukan dari kalangan mereka. Sedangkan kaum Muhajirin yang ada bersamamu selalu memberikan perlindungan kepada keluarga mereka yang berada di Makkah. Oleh karena itu aku sangat ingin membantu melindungi keluargaku, meskipun aku tidak mempunyai hubungan nasab dengan mereka. Aku tidak melakukan semua itu karena kufur, murtad dari agamaku dan rela terhadap kekafiran setelah aku masuk Islam.” Lalu ‘Umar pun berkata: “Biarkan aku penggal leher orang munafik ini.” Maka Rasulullah saw. pun bersabda: “Dia telah mengikuti perang Badar, dan engkau tidak tahu bahwa Allah telah mengetahui seluk beluk para prajurit perang Badar itu. Allah swt. berfirman: “Berbuatlah sekehendak kalian, karena Aku telah memberikan ampunan kepada kalian.”
Demikianlah hadits yang diriwayatkan oleh al-Jama’ah kecuali Ibnu Majah dari Sufyan bin ‘Uyainah. Dan Imam al-Bukhari menambahkan dalam kitab al-Maghaazi [peperangan] dalam shahihnya: “Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat: yaa ayyuHalladziina aamanuu laa tattakhdzuu ‘aduwwii wa ‘aduwwakum auliyaa-a (“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.”)
Dengan demikian firman Allah: yaa ayyuHalladziina aamanuu laa tattakhdzuu ‘aduwwii wa ‘aduwwakum auliyaa-a tulquuna ilaiHim bil mawaddati wa qad kafaruu bimaa jaa-akum minal haqqi (“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka [berita-berita Muhammad] karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu.”) yakni orang-orang musyrik dan kafir yang memerangi Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang Dia telah menetapkan permusuhan dan perlawanan terhadap mereka. Dan Dia melarang kaum muslimin menjadikan mereka itu sebagai teman setia atau sahabat. Sebagaimana difirmankan Allah yang artinya sebagai berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 51)
Yang demikian itu merupakan kecaman keras sekaligus ancaman yang sangat tegas. Allah berfirman yang artinya:
“28. janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali ‘Imraan: 28)
Oleh karena itu Rasulullah menerima alasan Hathib ketika ia menyebutkan bahwa apa yang ia lakukan itu hanya sebagai suatu siasat terhadap suku Quraisy untuk menjaga harta dan anak-anaknya di tengah-tengah mereka.
Dan firman Allah: yukhrijuunar rasuula wa iyyaakum (“Mereka mengusir Rasul dan [mengusir]mu.”) demikianlah kenyataannya, disyariatkan permusuhan terhadap mereka dan tidak menjadikan mereka sebagai teman setia, karena mereka telah mengusir Rasulullah saw. dan para shahabatnya dari tengah-tengah mereka sebagai bentuk kebencian terhadap apa yang ada pada Rasulullah saw. dan para shahabatnya berupa tauhid dan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu Allah berfirman: an tu’minuuna billaaHi rabbakum (“Karena kamu beriman kepada Allah, Rabb-mu.”) maksudnya, kalian tidak mempunyai kesalahan terhadap mereka kecuali keimanan kalian kepada Allah, Rabb seru sekalian alam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala berikut ini: wa maa naqamuu minHum illaa ay yu’minuu billaaHil ‘aziizil hamiid (“Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahaterpuji.”) (al-Buruuj: 8)
Firman Allah: in kuntum kharajtum jiHaadan fii sabiilii wabtighaa-a mardlaatii (“Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridlaan-Ku.”) maksudnya jika kalian seperti itu, maka janganlah kalian menjadikan mereka sebagai teman setia jika kalian benar-benar akan pergi berjihad di jalan-Ku (Allah) dengan tujuan mencari keridlaan-Ku. Oleh karena itu, janganlah kalian menjadikan musuh-musuh-Ku dan juga musuh-musuh kalian sebagai teman setia kalian. Karena mereka telah mengusir kalian dari negeri dan harta kalian serta murka terhadap agama kalian.
Firman Allah: tusirruuna ilaiHim bil mawaddati wa ana a’lamu bimaa akhfaitum wa maa a’lantum (“Kamu memberikan secara rahasia [berita-berita Muhammad] kepada mereka karena kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.”) maksudnya kalian perbuat semua itu, sedang Aku Mahamengetahui semua rahasia, bisikan hati dan yang terang-terangan.
Wamay yaf’alHu minkum faqad dlalla sawaa-as sabiil. Iy yatsqafuukum yakuunuu lakum a’daa-aw wa yabsuthuu ilaikum aidiyaHum wa alsinataHum bis suu-i (“Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus. Jika mereka menangkapmu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti[mu].”) maksudnya jika mereka menguasaimu, mereka pasti tidak dapat menjaga lidah dan perbuatan mereka sebagai sarana untuk menyakiti kalian. Wawadduu lau takfuruun (“dan mereka ingin supaya kamu [kembali] kafir.”) mereka berkeinginan keras agar kalian tidak mendapatkan kebaikan apapun, permusuhan mereka terhadap kalian akan tetap ada dan tampak jelas, maka bagaimana mungkin kalian berteman setia dengan orang-orang seperti ini? Yang demikian itu merupakan pendorong untuk mengadakan permusuhan dengan mereka.
Firman Allah: lan tanfa’akum arhaamukum wa laa aulaadukum yaumal qiyaamati yafshilu bainakum wallaaHu bimaa ta’maluuna bashiir (“Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tidak bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.”) yakni kaum kerabat kalian tidak akan mendatangkan manfaat apapun bagi kalian di sisi Allah jika Dia menghendaki keburukan menimpa diri kalian. Dan kemanfaatan mereka pun tidak akan sampai pada kalian jika kalian mencari kerelaan mereka dengan cara melakukan sesuatu yang dimurkai Allah. Barangsiapa yang menyutujui kekufuran keluarganya supaya mereka senang, maka sesungguhnya ia benar-benar merugi lagi sesat. Dan kaum kerabatnya sama sekali tidak membawa manfaat baginya di sisi Allah, meskipun ia merupakan kerabat dekat salah seorang Nabi.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas, bahwasannya ada seorang laki-laki berkata: “Ya Rasulallah, dimanakah ayahku?” Beliau menjawab: “Di neraka.” setelah itu ia pergi sambil menunduk, Rasulullah saw. memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu ada di neraka.”
Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud dari hadits Hammad bin Salamah.

1. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), Karena rasa kasih sayang; padahal Sesungguhnya mereka Telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu Karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, Karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya dia Telah tersesat dari jalan yang lurus.
2. Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir.
3. Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. dia akan memisahkan antara kamu. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
4. Sesungguhnya Telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia; ketika mereka Berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan Telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya*: “Sesungguhnya Aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan Aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami Hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan Hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan Hanya kepada Engkaulah kami kembali.”
(al-Mumtahanah: 1-4)
* nabi Ibrahim pernah memintakan ampunan bagi bapaknya yang musyrik kepada Allah : Ini tidak boleh ditiru, Karena Allah tidak membenarkan orang mukmin memintakan ampunan untuk orang-orang kafir (lihat surat An Nisa ayat 48).
Diriwayatkan oleh asy-Syaikhaan (al-Bukhari dan Muslim) yang bersumber dari ‘Ali bahwa Rasulullah saw. mengutus ‘Ali, az-Zubair, dan al-Miqdad bin al-Aswad, dengan bersabda: “Pergilah kalian ke kebun Khakh. Di sana kalian akan bertemu dengan seorang perempuan yang membawa surat. Ambillah surat itu dan bawalah kepadaku.” Berangkatlah mereka bertiga hingga sampai ke tempat yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. Di sana mereka bertemu dengan seorang wanita yang naik unta. Berkatalah mereka:”Berikan surat itu kepada kami.” Ia mendjawab: “Saya tidak membawa surat.” Mereka berkata: “Sekiranya engkau tidak menyerahkannya, kami akan menelanjangi engkau.” Dengan susah payah ia pun mengeluarkan surat itu dari sanggul rambutnya.
Kemudian mereka membawa surat itu kepada Rasulullah saw. Setelah diperiksa ternyata surat itu dari seorang shahabat yang bernama Hathib bin Abi Balta’ah yang ditujukan kepada orang –orang musyrikin di Mekah, yang isinya memberitahukan kepada mereka beberapa perintah Nabi Saw. Akhirnya Hathib dipanggil oleh Rasulullah Saw. Setelah berada di hadapan Rasulullah Saw, beliau bertanya kepada Hathib: “Apakah ini wahai Hathib ?”, sambil memperlihatkan surat. Hathib menjawab dengan ketakutan: “Jangan tergesa-gesa (menghukum aku), ya Rasulullah. Aku mempunya teman dari golongan Quraisy, akan tetapi aku sendiri bukan termasuk golongan mereka. Shahabat-shahabat Muhajirin yang ada sekarang, banyak mempunyai kerabat yang bisa menjaga famili dan harta bendanya di Mekah. Sedang aku sendiri tidak mempunyai kerabat seperti mereka. Karenanya aku membuat budi kepada mereka supaya mereka menjaga keluargaku yang lemah dan harta bendaku. Aku berbuat demikian bukan karena kufur atau murtad dari agama dan bukan pula karena ridha atau kekufuran mereka.” Rasulullah saw bersabda: “Ia mengatakan yang sebenarnya.” Ayat ini (al-Mumtahanah: 1-4) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang melarang kaum Mukminin memberikan berta kepada kaum kafir karena rasa cinta kepada mereka.
8. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Asma’ binti Abi Bakr bahwa Qatilah (seorang kafir) datang kepada Asma’ binti Abi Bakr (anak kandungnya). Setelah itu Asma’ bertanya kepada Rasulullah saw: “Bolehkah saya berbuat baik kepadanya?” Rasulullah saw menjawab: “Ya (boleh).” Ayat ini (al-Mumtahanah: 8) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah.
Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar, dan al-Hakim-dishahihkan oleh al-Hakim-, yang bersumber dari ‘Abdullah bin az-Zubair bahwa Siti Qatilah, istri Abu Bakr yang telah diceraikan pada zaman jahiliyyah, datang kepada anaknya, Asma’ binti Abi Bakr, membawa bingkisan. Asma’ menolak pemberian itu, bahkan ia tidak memperkenankan ibunya masuk ke dalam rumahnya. Setelah itu ia mengutus seseorang kepada ‘Aisyah (saudaranya) agar menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw memerintahkan untuk menerimanya dengan baik serta menerima pula bingkisannya. Ayat ini (al-Mumtahanah: 8) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang berbuat baik kepada orang kafir yang tidak memusuhi agama Allah.